La Dado Aru Labessi dalam Sejarah Politik, Adat, dan Keberlanjutan Genealogis Bugis Soppeng


Walennae.com
Sebuah Kajian Historis dan Sosiologis

Pendahuluan
Penamaan ruang publik merupakan salah satu bentuk representasi ingatan kolektif masyarakat terhadap figur-figur yang memiliki kontribusi signifikan dalam sejarah lokal. Di Kabupaten Soppeng, Jalan H. A. Dado yang terletak di Kelurahan Tetti Kenrarae, Kecamatan Marioriwawo, menjadi penanda historis bagi sosok La Dado Aru Labessi, seorang bangsawan Bugis yang berperan penting dalam struktur politik, adat, dan diplomasi Kerajaan Soppeng.

Tulisan ini bertujuan menempatkan La Dado Aru Labessi dalam konteks historiografi Bugis sebagai aktor aristokratik yang mampu mengintegrasikan kekuasaan adat, kecakapan politik, serta kekuatan ekonomi, sekaligus menelusuri keberlanjutan genealogisnya hingga masa kontemporer.

Latar Genealogis dan Pembentukan Elite Adat
La Dado Aru Labessi merupakan putra dari La Palaloi, pemegang jabatan Aru Jampu, salah satu posisi strategis dalam hierarki pemerintahan Kerajaan Soppeng. Ibunya, I Tubacina Besse Baring, berasal dari keluarga bangsawan terpandang. Latar genealogis ini menempatkan La Dado sejak dini dalam lingkungan aristokratik yang sarat dengan nilai pangadereng, etika kepemimpinan, serta mekanisme kekuasaan Bugis.

Dalam tradisi Bugis, garis keturunan tidak hanya berfungsi sebagai legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai fondasi pembentukan otoritas sosial dan politik. Namun demikian, legitimasi tersebut tetap menuntut kapasitas personal, kecakapan kepemimpinan, dan kemampuan menjaga keseimbangan sosial.

Mobilitas Jabatan dan Struktur Kekuasaan
Karier politik La Dado menunjukkan pola mobilitas vertikal yang relatif konsisten dalam struktur aristokrasi Bugis. Ia mengawali pengabdian sebagai Aru Labessi, kemudian diangkat menjadi Aru Jampu, menggantikan ayahandanya, dan selanjutnya menjabat Aru Mong. Rangkaian jabatan ini mencerminkan tingkat kepercayaan elite kerajaan dan masyarakat adat terhadap kapabilitas kepemimpinannya.

Puncak otoritas La Dado dicapai ketika ia dilantik sebagai Sullewatang Marioriwawo, penguasa otonom wilayah yang memiliki kewenangan menjalankan hukum adat, menjaga ketertiban sosial, serta mengelola relasi politik antara pusat kerajaan dan wilayah.

Politik Kerajaan dan Diplomasi Aristokratik
Dalam konteks politik makro Kerajaan Soppeng, La Dado dikenal sebagai salah satu aktor strategis dalam diplomasi aristokratik. Ia terlibat dalam dinamika pemilihan Datu Soppeng, sebuah proses yang mencerminkan interaksi kompleks antara kompetisi dan konsensus di kalangan elite Bugis.

Ketika Aru Bila menetapkan La Wana Datu Botto sebagai Datu Soppeng terakhir, La Dado memilih sikap politik moderat dan stabilis. Pilihan ini mencerminkan etos kenegarawanan Bugis yang mengedepankan harmoni sosial, kesinambungan pemerintahan, dan penghindaran konflik terbuka.

Dimensi Sosial-Ekonomi dan Aliansi Politik
Dalam kajian antropologi politik Bugis, praktik poligami di kalangan bangsawan sering dipahami sebagai instrumen pembentukan aliansi. La Dado tercatat memiliki 40 istri yang berasal dari berbagai keluarga bangsawan Bugis, termasuk dari Baranti dan Sidrap. Praktik ini memperluas jaringan sosial-politiknya dan memperkuat integrasi lintas wilayah.
Selain itu, La Dado juga dikenal sebagai aktor ekonomi, khususnya dalam pengolahan emas. Aktivitas ekonomi ini memperkuat basis material kekuasaannya dan menunjukkan bahwa otoritas bangsawan tidak semata bertumpu pada simbol adat, tetapi juga pada kemandirian ekonomi.

Warisan Sejarah dan Memori Kolektif
Sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya dalam menjaga adat, stabilitas politik, dan ketertiban sosial, nama La Dado diabadikan menjadi Jalan H. A. Dado di wilayah Marioriwawo. Pengabadian ini merepresentasikan mekanisme memori kolektif masyarakat Soppeng dalam menjaga kesinambungan sejarah lokal dan identitas budaya Bugis.
Keberlanjutan Genealogis dan Transformasi Peran Sosial
Warisan La Dado Aru Labessi tidak berhenti pada simbol ruang publik. Garis keturunannya terus berlanjut dan hadir dalam berbagai sektor kehidupan modern. Dalam ranah politik lokal, salah satu keturunan langsungnya adalah Andi Nelli, S.Pd, politisi Partai Gerindra Kabupaten Soppeng, yang secara genealogis tercatat sebagai generasi keempat La Dado Aru Labessi. Kehadirannya merefleksikan kesinambungan nilai kepemimpinan adat Bugis dalam sistem demokrasi modern.
Selain itu, sejumlah keturunan La Dado juga berkiprah di bidang akademik, profesional, dan politik nasional. Pada jalur akademisi, tercatat Dr. Hj. A. Marhama, dosen dan akademisi Universitas Hasanuddin (UNHAS), yang juga aktif dalam organisasi perempuan intelektual FORHATI Sulawesi Selatan. Peran ini menunjukkan transformasi nilai aristokratik Bugis ke dalam ranah pendidikan tinggi dan pengembangan intelektual.

Di tingkat politik nasional dan garis keturunan La Dado terwakili oleh Andi Saiful Haq, yang berkiprah sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) serta tercatat menjalankan peran profesional sebagai tenaga ahli di Kementerian Kehutanan dan Dr.Andi Rakhmad Salah satu Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa PKB Utusan Provinsi Kalimantan Selatan dan terakhir menjadi Tenaga Ahli Menteri Pertahanan di era Matori Abdul Jalil Keterlibatan ini mencerminkan adaptasi historis aristokrasi Bugis ke dalam struktur negara modern dan tata kelola pemerintahan kontemporer.
Secara sosiologis, keberagaman kiprah keturunan La Dado sebagai politisi, akademisi, praktisi profesional, dan pengusaha menunjukkan bahwa warisan aristokratik Bugis bertransformasi dari legitimasi genealogis menjadi modal kultural, intelektual, sosial, dan profesional yang berkontribusi nyata dalam kehidupan publik lintas sektor.

Penutup
La Dado Aru Labessi merupakan representasi bangsawan Bugis yang berhasil mengintegrasikan kekuasaan adat, kecakapan politik, dan kemandirian ekonomi. Melalui kepemimpinannya sebagai Sullewatang, perannya dalam diplomasi kerajaan, serta keberlanjutan garis keturunannya hingga masa kini, La Dado menempati posisi penting dalam sejarah sosial-politik Soppeng. Kajian ini memperlihatkan bagaimana nilai pangadereng tidak hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi dan menemukan relevansinya dalam dinamika masyarakat modern.

Penulis:MejaRedaksiWalennae.com

0 Komentar